DI TANAH SRIWIJAYA, KEMANUNGGALAN ITU TUMBUH

Kabut, Jalan, dan Asa yang Belum Pupus

Kabut pagi masih menggantung diatas pepohonan, menutupi sebagian jalan aspal yang mulai terkelupas di Kampung Sriwijaya, Kecamatan Umpu Semenguk, Kabupaten Way Kanan. Lubang-lubang kecil di jalan utama seperti pulau-pulau hitam di antara hamparan tanah merah.

Inilah kampung hasil program transmigrasi tahun 1980. Dulu, warga datang dari tanah Jawa dengan perbekalan sederhana dan harapan besar. Mereka menebas hutan, menanam padi, membangun rumah dari papan seadanya, dan perlahan menjadikan Sriwijaya tempat untuk menanam masa depan.

Empat dekade berlalu, wajah kampung ini masih sederhana. Jalan menuju ladang banyak berlubang, aspalnya terkelupas seperti kulit yang tergores waktu.

Namun pagi itu berbeda. Deru alat berat memecah keheningan, disusul suara tawa anak-anak dan aba-aba para prajurit. Di tanah yang dulu sepi itu, kini berdiri barisan loreng. Mereka datang bukan hanya membawa cangkul dan semen, tetapi juga harapan.

Inilah awal dari TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) ke-126 Tahun 2025, program sinergitas antara TNI dan pemerintah daerah yang menebarkan semangat pemerataan pembangunan.

“TMMD bukan sekadar membangun jalan, tapi menyambung hati antara TNI dan rakyat,” ujar Bupati Way Kanan, Ibu Ayu Asalasiyah, saat membuka kegiatan pada 8 Oktober 2025.

Dipimpin oleh Letkol Arm Sigit Windarto, S.Sos., M.Han., Dansatgas TMMD Kodim 0427/Way Kanan, program ini membawa semangat kemanunggalan dan sinergitas ke setiap sudut Kampung Sriwijaya.

Proses pengecoran rabat betonsepanjang 20 meter dengan lebar 2,5 meter.

Jalan Baru, Nafas Baru

Selama puluhan tahun, warga Sriwijaya harus berjuang menembus jalan tanah merah menuju kebun mereka. Saat hujan turun, jalan itu berubah jadi kubangan lumpur. Roda motor terjebak, sandal tersangkut. Hasil panen sering tertunda karena tak bisa diangkut keluar kampung.

Kini, deretan prajurit dan warga bekerja bahu membahu membuka jalan baru sepanjang 410 meter dengan lebar 5 meter. Bagi sebagian orang, itu hanya ukuran angka. Tapi bagi warga, itu adalah garis kehidupan baru.

“Dulu kalau mau ke kebun harus dorong motor, sekarang bisa bawa panen dengan lebih cepat,” ucap Pak Karyo, petani singkong yang matanya berbinar di antara debu proyek.

Di bawah terik matahari, para prajurit menembus panas tanpa keluh. Anak-anak berlarian di pinggir jalan, membawa botol air untuk mereka. Di wajah para ibu, terlihat senyum banggakarena di sini, pembangunan bukan sekadar proyek, tapi kebersamaan yang nyata.

 

Rabat Beton di Tanjakan Harapan

Ada satu tanjakan yang dulu menjadi momok warga. Licin saat hujan, berdebu saat kemarau. Tak terhitung berapa kali warga tergelincir di sana.

Kini, di atas tanjakan itu, membentang rabat beton sepanjang 20 meter dengan lebar 2,5 meter. Permukaannya halus, keras, dan kokohhasil kerja tangan prajurit dan warga yang bekerja siang malam.

“Kalau dulu mau lewat sini waktu hujan, rasanya seperti berperang,” kelakar Bu Sarmi sambil tertawa. “Sekarang, saya bisa naik motor sambil bawa panen.”

Rabat beton itu menjadi simbol kecil dari perjuangan besar. Bukti bahwa kemajuan bisa lahir dari tangan-tangan sederhana, dari peluh yang jatuh di tanah sendiri.

Pembuatan siring dan pemasangan gorong-gorong

 

Gorong-Gorong dan Siring: Menjaga Aliran Kehidupan

Tak banyak yang sadar bahwa kekuatan jalan bukan hanya di permukaannya, tapi di bagaimana ia menyalurkan air. Karena itu, TMMD juga membangun gorong-gorong dan siring di titik-titik rawan genangan.

Kini, saat hujan turun, air tak lagi menggenang dan menggerus pinggiran jalan. Ia mengalir teratur, seperti kehidupan warga yang perlahan mengalir ke arah yang lebih baik.

Setiap batu yang disusun di gorong-gorong itu seakan menyimpan cerita. Tentang prajurit yang rela berlutut di lumpur, tentang warga yang tak henti menimba air dan menyiapkan makan siang di dapur umum. Tentang kebersamaan yang sederhana, tapi abadi.

Pembangunan RTL di salah satu sasaran kegiatan TMMD

RTLH: Rumah Baru, Hidup Baru

Bukan hanya jalan yang dibangun, tapi juga dua rumah tidak layak huni (RTLH) yang kini berdiri tegak menggantikan bangunan reyot di pinggiran kampung.

Atap seng berkilau di bawah matahari, dinding bata baru berdiri menggantikan papan lapuk. Di teras, seorang ibu menatap rumahnya dengan mata berkaca-kaca.

“Dulu kami selalu takut rumah roboh kalau angin besar. Sekarang… rasanya seperti mimpi,” katanya pelan.

Prajurit yang membangun rumah itu hanya tersenyum. Baginya, kebahagiaan warga adalah penghargaan tertinggi.

Salah satu sasaran TMMD ke-126 pembuatan sumur bor

Air, Kebersihan, dan Kehidupan yang Mengalir

Dua unit MCK dan tujuh sumur bor juga dibangun di berbagai titik kampung. Suara air yang memancar dari pipa menjadi simfoni baru di Sriwijaya.

Dulu, air bersih adalah kemewahan. Kini, setiap ember yang penuh, setiap tawa anak yang mandi di pancuran, adalah simbol kehidupan yang lebih sehat.

“Kalau dulu kami mandi nunggu hujan,” kata Bu Lastri sambil menimba air dari sumur bor. “Sekarang, air ada setiap hari. Terima kasih, Pak Tentara.”

Pemberian bibit ikan

 

Ketahanan Pangan dan Sentuhan Sosial

TMMD tak berhenti pada pembangunan fisik. Bibit padi dan ikan dibagikan, 250 batang pohon pisang ditanam, dan 250 paket sembako diberikan kepada warga yang membutuhkan.

Di tengah kegiatan itu, tawa menggema di antara barisan loreng dan warga yang berpeluh. Tidak ada jarak, tidak ada sekat. Semua bekerja dalam satu tujuan membangun kampung, memperkuat kehidupan.

Ketua Tim WasevBrigjen TNI Totok Sulistyono, S.H., M.M., M.I.P., saat tinjau lokasi kegiatan TMMD

Gotong Royong: Napas Abadi Kampung Sriwijaya

Kampung Sriwijaya adalah kampung transmigran yang mayoritas warganya berasal dari Jawa. Tradisi sambatanatau gotong royong masih hidup dalam setiap denyut kehidupan mereka.

Saat TMMD berlangsung, warga tak hanya menjadi penonton. Mereka datang membawa cangkul, menyumbang makanan, ikut memanggul pasir.
Kehangatan itu membuat Brigjen TNI Totok Sulistyono, S.H., M.M., M.I.P., Ketua Tim Wasev, kagum.

“Kampung ini luar biasa. Gotong royongnya tidak dibuat-buat. Inilah wujud kemanunggalan yang sebenarnya,” ujarnya.

 

Keringat yang Menjadi Doa

Hari demi hari, pembangunan terus berlanjut. Matahari, hujan, dan lumpur menjadi saksi kerja keras tanpa pamrih itu. Hingga akhirnya, setiap sasaran selesai tepat waktu. Jalan terbuka, rumah berdiri, air mengalir.

Di wajah para prajurit dan warga, ada lelah yang berbuah bahagia. Mereka tidak hanya membangun desa, tapi membangun kenangan.

Pangdam II/Radin IntenMayjen TNI Kristomei Sianturi, S.Sos., M.Si.,saat menghadiri penutupan TMMD

 

Penutupan di Bawah Langit Cerah

Pada hari penutupan, langit Way Kanan cerah tanpa awan. Pangdam II/Radin Inten,Mayjen TNI Kristomei Sianturi, S.Sos., M.Si.,  hadir langsung menutup kegiatan TMMD ke-126.

Bendera merah putih berkibar di antara barisan warga. Anak-anak menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.

Ketika pita diresmikan, tepuk tangan menggema. Seorang bocah berlari di atas jalan baru, tertawa riang. Ia tak tahu, di bawah kakinya ada ribuan peluh, kerja keras, dan doa yang membentuk setiap meter jalan itu.

Kampung Sriwijaya kini punya wajah baru. Bukan hanya karena jalannya yang terbuka, rumahnya yang baru, atau airnya yang mengalir tapi karena hatinya yang menyatu.
Di tanah ini, kemanunggalan tidak diajarkan, tapi dijalani.
***

Pos terkait