Sistem Sahih Solusi Atasi Banjir, Sebuah Refleksi
Oleh: Muthmainnah Kurdi
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia.” (TQS. Ar-Rum: 41).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Lilik Kurniawan menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 ada 2676 bencana alam terjadi (CNN indonesia.com).
Dari sekian banyaknya bencana pihak PNPB menyampaikan, bencana alam yang paling banyak terjadi adalah banjir, yaitu sebanyak 726 kali bencana.
“Peristiwa banjir akan terus berulang disatu daerah jika tidak ada intervensi dari pemerintah Dengan pencegahan dan mitigasi.” Ujar Lilik
Muncul pertanyaan. “Mengapa peristiwa itu selalu berulang terjadi ?”. Dikutip dari laman Kompas.com, ada 3 penyebab utama penyebab banjir yaitu:
Pertama (1). Berkurangnya tutupan pohon. Kedua (2). Cuaca ekstrem
Ketiga (3). Kondisi topografis.
Kemudian muncul pertanyaan utama, “Mengapa tutupan pohon bisa berkurang?” Fakta di daerah menjawab, karena tidak ada lagi hutan-hutan dimana pohon-pohonnya menjadi penyangga penyerap air.
Penyebab Banjir
Berbicara musnahnya pepohonan, ini terkait erat dengan sistem atau ideologi yang sedang menjerat negeri ini. Adalah ideologi Kapitalis dengan ide sekulernya, telah memberi kebebasan terjadinya pembabatan hutan secara liar. Ideologi ini, memberikan kebebasan penuh bagi para pemilik modal atau kapital untuk melakukan apapun, demi memenuhi syahwat mereka dalam menguasai Sumber Daya Alam (SDA), dan hegemoni mereka dalam sumber-sumber ekonomi krusial yang seharusnya menjadi milik rakyat.
Sekulerisasi atau dibuangnya peran agama dalam pengaturan kehidupan, telah mendominasi, menyebabkan para kapital itu menjalankan kebijakaannya dengan tangan besi, tanpa mempedulikan rambu-rambu keamanan lagi. Bagi mereka, effort hanya untuk meraih sebanyak-banyak untung dengan membiarkan rakyat bernasib buntung. Dimana peran penguasa? Setali tiga uang dengan para kapital, penguasa di sistem Demokrasi Kapitalis, berperan sebagai kanal yang makin memuluskan akal bulus kapital. Ya, penguasa di sistem ini berkolaborasi mutualisme dengan kapital dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Dengan kebijakan semena-mena yang tak berpihak pada keselamatan rakyat, tak heran jika berbagai bencana datang silih berganti. Kerusakan alam tak terelakkan.
(QS.Ar-Rum: 41).
Solusi Islam, Sebuah Refleksi.
Islam dengan institusinya yakni sistem pemerintahan negara Khilafah, memberi solusi tuntas atas problema umat, tak terkecuali dengan banjir. Dikutip dari laman Media Umat, kebijakan-kebijakan seorang Khalifah (pemimpin) dalam mengatasi banjir disarikan berikut ini:
Pertama (1).
Jika banjir disebabkan karena kurangnya daya tampung tanah terhadap curah hujan, maka cara yang ditempuh adalah:
- Membangun bendungan. Fungsi bendungan ini untuk mengatur dan mengalihkan aliran air. Bendungan yang masyhur di Kordoba adalah bendungan Guadalquivir yang diarsiteki oleh Al Idrisi. Dengan keunikannya hingga bisa dialih fungsikan menjadi alat penggilingan hingga sekarang.
- Memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air. Selanjutnya melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah tersebut.
- Membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya dan diserap oleh tanah secara maksimal.
- Mengevakuasi penduduk dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada mereka.
- Mengeruk lumpur-lumpur di sungai secara berkala, atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.
- Melakukan penjagaan sangat ketat bagi keberhasilan sungai, danau, dan kanal, dengan cara memberikan sanksi bagi yang mengotori atau mencemari tempat tersebut.
- Membangun sumur-sumur resapan, selain untuk resapan juga untuk tandon air sewaktu-waktu dibutuhkan saat kemarau datang.
Kedua (2).
Dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Khilafah memberikan master plan, sebagai berikut:
- Pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah resapan, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik dan topografi.
- Izin pembangunan harus dimiliki warga yang hendak membangun rumah, dan Khalifah tidak mempersulit dengan menggratiskan biaya surat izin pendirian bangunan bagi siapa saja.
- Khalifah tidak akan menerbitkan izin pendirian bangunan, jika pendirian bangunan rumah bisa menghantarkan bahaya (madlarah). Ini merupakan implementasi kaedah Ushul fikih al-dlararu yuzaalu (bahaya itu harus dihilangkan).
- Memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pandang bulu.
- Membentuk badan khusus yang menangani bencana alam dengan dilengkapi peraalatan lengkap sesuai kebutuhan warga yang terdampak bencana.
- Petugas-petugas lapangan diberi pengetahuan yang cukup tentang SAR (search and rescue), serta keterampilan, dan terbiasa bergerak cepat jika ada bencana.
- Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Mensosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan. Mendorong kaum muslimin menghidupkan tanah mati ( ihyaa’ al-mawaat) sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh.
Ketiga (3).
Penanganan korban-korban bencana alam, sebagai berikut:
- Khalifah segera bertindak cepat
- Menyediakan tenda-tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang dibutuhkan, sehingga korban tidak kekurangan apapun
- Mengerahkan para alim ulama untuk memberikan tausyiah-tausyiah kepada korban bencana, menguatkan ruhani mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.
Demikianlah kebijakan-kebijakan Khilafah dalam menanggulangi bencana banjir. Solusi tuntas yang profesional, berdasarkan pertimbangan rasional juga nas-nas syar’i.
Hanya solusi dari sistem Islam inilah yang menjadi refleksi solusi atas berbagai bencana yang selama ini terjadi, utamanya bencana banjir.
Wallahu A’lam.