HeadlineNasionalNusantara

Kisah Lima Jurnalis TV Heroik yang Terjebak Saat Gempa & Tsunami

Sumateranews.co.id, JAKARTA- Sedikit kisah lima orang jurnalis heroik yang berhasil mengabarkan pada dunia saat meliput gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Tak hanya berhasil dan selamat, namun kelimanya mendapatkan penghargaan dari pendiri dan anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

Mula kisah yang diceritakan oleh beberapa peliput saat itu ialah, mereka mendengar ada korban meninggal akibat bangunan ambruk.

Kemudian secara bersama mereka menuju Palu hingga Sirenja melewati pantai dengan menggunakan angkutan darat (mobil).

Dalam perjalanannya mereka menyusuri jalan Pantai Barat yang biasanya dapat ditempuh dua jam perjalanan menyusuri sisi utara teluk. Mereka bermobil dengan kapasitas tempat duduk tujuh penumpang.

Menurut penuturan salah seorang penerima penghargaan yakni, Ody Rahman (NET) saat itu mereka sedang menempuh satu jam perjalanan, dekat Pelabuhan Pantoloan menjelang perbatasan Palu-Donggala, pemandangan laut terlihat indah seperti biasanya. Namun, tiba-tiba, mereka merasakan gempa yang sangat kuat.

“Saya langsung tarik rem tangan, mobil berhenti di tengah jalan. Lalu kami lihat hampir semua pengendara motor di sekitar kami berjatuhan,” tutur Ody beberapa waktu lalu.

Melihat kejadian itu, mereka langsung turun dan merekam semua peristiwa dengan telepon genggam masing-masing. Ada yang sambil menolong orang-orang yang terjatuh. Tiba-tiba terjadi lagi gempa. Dan, ketika mereka melihat ke laut, tampak gelombang tinggi bergerak cepat ke arah mereka.

Sementara rekan lainya yakni Abdy Mari (tvOne) mengatakan jika temanya, Jemmy Hendrik (Radar TV) berteriak keras dan mengatakan “Itu tsunami!”

Tak pelak hal itu menyadarkan mereka dan semua orang yang mendengar. Mengetahui ada bahaya besar di depan mata orang panik, berteriak-teriak. Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang.

“Lari.., lari, tsunami, tsunami..! kami lihat banyak orang lari ke sana ke mari hingga kami bergegas langsung masuk mobil buka pintu dan menarik beberapa orang untuk masuk dan kemudian kami putar balik.” Demikian cerita Abdy mengenang kejadian yang lalu itu.

Akibat suasana panik semua berebut masuk mobil hingga tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan seolah membuat mereka tercekam.

“Sampai di ketinggian yang kami anggap aman, mobil saya hentikan, lalu kami semua keluar. Saya hitung-hitung, ada duabelas orang yang ikut kami. Total 17 dalam mobil yang hanya untuk 8 orang termasuk pengemudi. Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu,” ujar Abdy.

Panik tak bisa menghubungi keluarga, tapi masih bisa menolong orang

Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti tepatnya di dekat Pelabuhan Pantoloan sudah rata dengan tanah mereka menyaksikan rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan dan dimana-mana terlihat penuh puing.

Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk kepentingan berita dan mengabarkan pada dunia apa yang mereka saksikan dan alami sendiri. Sampai kemudian sadar, apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu.

Serentak, mereka mencoba menghubungi mereka di Palu. “Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami, saat itu mungkin saya yang paling galau karena tempat tinggal kami rumah tua yang rawan runtuh,” kata Abdy.

Sekitar 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu. kemudian menemui keluarga dan mengirim berita. Perjalanan kembali itupun tidak mudah mereka harus berjibaku melewati puing-puing bangunan yang berserakan, jalan rusak, dan pikiran kacau mengingat nasib keluarga masing-masing.

“Saat itu, kondisi sudah gelap. Kami terus bergerak hingga sampai di Kelurahan Mamboro, kami melihat seorang ibu yang terjepit runtuhan bangunan. Kami berhenti dan membawanya ke tempat aman. Tampaknya ada tulang yang patah,” tutur Ody.

Dalam perjalanannya, mereka sempat terjebak di Kelurahan Layana karena jalan tertutup, terpaksa berhenti dan menunggu. Beberapa jam kemudian, ada iring-iringan kendaraan Brimob melintas yang membuka akses jalan. Akhirnya, sekitar pukul 23.00 WITA, mereka tiba di Palu,” kata Abdy.

Di Palu, Abdy menghadapi kenyataan keluarganya telah mengungsi. Ketika bertemu, hanya ada istri dan anak pertama. Sedangkan anak kedua, Andra, hilang dengan posisi terakhir yang diketahui berenang di Hotel Golden Palu yang kena tsunami.

Hingga pagi, mereka mencari Andra. Setelah hampir putus asa, mereka pulang melihat kondisi rumah.

Tak lama kemudian, Andra muncul. Anak SD itu rupanya lari ke gunung dan bermalam sendirian di sana hanya mengenakan celana renang. Ada beberapa luka karena ditabrak motor saat lari.

Setelah memastikan keluarga semua selamat, hari itu juga mereka kembali ke “lapangan”. Kembali ke bekerja seperti biasa.

“Kami baru bisa mengirim berita pada hari kedua melalui saluran yang sangat terbatas. Alhamdulillah,” kata Abdy.

Sumber          : Rel
Editor/Posting : Imam Ghazali

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button