

Oleh : Devita Deandra (Aktivis Muslimah)
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang beberapa waktu lalu disahkan ternyata juga mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.
“Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).”
Dan berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah.
“Sekarang, baik NU dan Muhammadiyah, bisa membuat sertifikasi Halal. UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Saya ingin yang terbaik dan adil untuk rakyat,” kata Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PAN, M. Ali Taher.
Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dengan adanya kebijakan ini tentu saja akan memancing polemik. Dan tidak hanya masyarakat, pihak MUI pun sangat menyayangkan pengesahan RUU kontroversial tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim beliau menilai, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah merusak esensi dari sertifikasi halal. Sebab, menurut dia, UU Cipta kerja lebih fokus pada perlindungan produsen, bukan konsumen.
Ditambah lagi dengan penghapusan syarat harus mendapat sertifikasi profesi dari MUI dalam pengangkatan auditor halal oleh LPH. Termasuk kebolehan self declare oleh produsen terkait kehalalan produknya yang cukup mengkhawatirkan. Lalu masih ada pasal-pasal lain yang diubah, yang semuanya berpihak pada pengusaha dan mereduksi jaminan halal bagi konsumen muslim.
Lagi-lagi, kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia adalah kebijakan yang berpihak kepada pengusaha. Dalam alam Demokrasi kapitalisme saat ini memang mustahil jika UU yang dibuat itu berpihak kepada rakyat, bahkan hingga urusan yang begitu penting seperti label kehalalan pun dimanipulasi. Dan yang menjadi kekhawatiran adalah keluarnya fatwa halal hanya sekedar label tanpa benar-benar melalui proses pengkajian.
Padahal, jika sebelumnya sertifikasi halal yang dikelurkan oleh MUI saja faktanya masih banyak ketidak pastian, apalagi jika beberapa pihak mulai bermain di dalamnya. Sedang telah jelas standar makanan yang Allah syariatkan tak hanya sekedar halal namun juga thayyib. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.” (Al-Mu’minun; 51). Dan Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik baik yang telah Kami berikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172).
Adanya dalil di atas tentu menjadi tanggung jawab negara dan yang bertugas di dalamnya dalam menjamin kehalalan dan kebaikan seuatu produk, mengingat negeri ini adalah negeri muslim terbesar, seharusnya pemerintah paham kebutuhan urgen rakyatnya, seperti kita tau bahwa halal itu tak hanya sekedar diperoleh dari jalan yang benar namun juga memberi kebaikan kepada diri manusia. Sepatutnya negara tak hanya mementingkan para produsen dan pengusaha saja namun para konsumen pun layak mendapat jaminan yang sama.
Memanglah Demokrasi tak sama dengan Khilafah, dimana dalam negara Islam menjadikan perhatian utama kebijakan adalah kesesuaian dengan syariat dan berikutnya kemaslahatan publik, bukan hanya keuntungan profit.
Kehalalan Pangan pun bukan Sekadar Label. Sebagaimana firman Allah SWT. “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 88)
Islam memerintahkan makan makanan halal lagi thayyib dan tidak berlebihan mengonsumsinya. Dalam arti, Islam melarang rakus dalam menyantap makanan. Budaya hedonis dan konsumtif terhadap makanan tidak diajarkan dalam Islam.
Selain itu, masalah menentukan halal-haram bukan sebatas label atau sertifikat saja. Namun, itu bagian dari wujud keimanan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Maka seorang pemimpin atau khalifah dalam sistem Islam akan memastikan semua itu, dan pemimpin paham betul yang dibutuhkan kaum muslimin adalah produk halal yang sesuai petunjuk Alquran dan Sunah. Bukan sebatas label atau sertifikat saja. Sebuah produk, mulai dari bahan baku, proses pengerjaan, hingga menjadi produk pangan, harus dipastikan kehalalannya. Semua itu dikerjakan, dikontrol, dan diawasi para ahli dan ulama agar semua produk pangan yang dikonsumsi masyarakat benar-benar terjamin kehalalannya.
Bukan malah menyerahkan sertifikasi halal pada kelompok, lembaga, atau pelaku usaha. Adanya sikap pemerintah yang demikian justru berpotensi terjebak pada kepentingan bisnis kapitalis. Persoalan halal-haram tidak boleh dianggap remeh. Menyerahkan suatu urusan kepada bukan ahlinya hanya akan mengantarkan pada kehancuran.
Memanglah tidak ada alasan lagi untuk percaya dengan sistem sekuler yang mendominasi, lagi dan lagi rakyat hanya dianggap obyek penghasil materi demi keuntungan para pengusaha (pemilik modal) yang berkepentingan dinegeri ini. Memang hanya dengan sistem Islam semua mampu terlindungi terutama hak-hak kaum muslimin. Wallahu A’lam