OpiniSecond Headline

‘Abe’ Lincoln dan Prevensi Multi Polarisasi Bangsa

Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd.

(Penulis Buku Kesejarahan Asal Palembang)

Selembar surat tiba ke genggaman ‘Abe’ pada 15 Oktober 1860 dari seorang gadis cilik berusia 11 tahun bernama Grace Bedell. Abraham Lincoln – nama lengkap Abe – merupakan sosok yang dicalonkan oleh Partai Republik, ketika itu sedang mempersiapkan diri mengikuti pemilihan umum Amerika Serikat sebulan kemudian. Bedell, si gadis cilik itu menganjurkan supaya ia memakai jenggot. “Muka bapak terlalu kurus”, katanya, “Dengan jenggot, kekurusan itu tidak akan nampak.” Anehnya Abe menurut. Baru kali itu ada seorang presiden Amerika Serikat yang berjenggot. Pada kali itu pula terpilih presiden dari Partai Republikan setelah ia memenangkan Pemilu Amerika Serikat tanggal 6 November 1860, ia mendapatkan 1.866.452 suara. Jenggot itu lumayan berguna ketika pada tanggal 11 Februari 1861, Lincoln berangkat dari Springfield menuju Washington untuk mengikuti upacara pelantikan. Di atas kereta ia tampil sebagai petani dari pedalaman meski dengan penjagaan ketat oleh empat orang yang dipimpin seorang detektif swasta bernama Alan Pinkerton. Di kala itu terpetik bahwa penembak-penembak gelap dari daerah selatan bersiap-siap untuk menghalangi kedatangannya di ibukota.

Abe dilahirkan dari sebuah keluarga pasangan Thomas Lincoln dan Nancy Hanks, tanggal 12 Februari 1809 di daerah Kentucky yang masih berupa hutan belantara. Keluarga Lincoln berprofesi sebagai petani. Mereka termasuk kaum tersisih yang harus kehilangan hak atas tanah dan pindah ke Indiana, sisi kelam lainnya dari Amerika yang didiami 1.900.000 kaum budak keturunan Afrika (‘Negro’). Setelah pada musim gugur tahun 1834, Abe yang bertubuh besar dengan pengalaman bermacam pekerjaan, disumpah menjadi wakil rakyat negara federal di Illinois. Kemenangan itu menjadi obat bagi kekalahannya ketika mencoba mencalonkan diri tahun 1831. Dikenal sebagai pembelajar otodidak yang tekun, ia belajar Hukum dan berhasil membuka praktek pengacara sejak 9 September 1836. Bersama rekannya yang bernama Dan Stone, ia melancarkan protes terhadap perbudakan tahun 1837. Sikap itu dengan konsisten ia pegang ketika ia menjadi angota kongres pada 1847. Rival politik terkuatnya, Stephen A. Douglas berhasil mencekal usaha Abe. Pada sebuah pidato yang dikumandangkan tanggal 26 Juni 1857, Abe menyindir bahwa keputusan Mahkamah Agung yang menolak tuntutan Dred Scott untuk membebaskan diri dari perbudakan akan membuat para Bapak Bangsa AS merasa sedih melihat keadaan yang tak sesuai dengan ‘Declaration of Independence.’

Presiden Buchanan sebagai pendahulu telah membentuk komisi sebelum pelantikan Abe yang bertugas khusus menetapkan apakah suatu negara bagian pro atau anti perbudakan. Akibatnya, negara bagian Carolina Selatan menarik diri dari perserikatan Amerika. Keputusan itu diikuti oleh negara-negara bagian yang pro perbudakan seperti Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Lousiana, dan Texas. Dengan dimulainya pemerintahan Abraham Lincoln sejak 4 Maret 1861, negara-negara bagian di selatan itu (kemudian disebut ‘Konfederasi’) sudah dalam penarikan diri aktif dari kekuasaan pemerintahan federal di Washington, mereka mengangkat Jefferson Davis sebagai presiden. Meletuslah Perang Saudara Amerika yang dimulai sejak 12 April tahun itu. Rezim Abraham Lincoln pendukung penghapusan (abolisi) perbudakan, berbasis di utara yang disebut sebagai pihak ‘Union’. Awalnya pihak Union hanya memiliki 16.000 tentara, Abe memanggil para pemuda untuk “mempertahankan tanah air”. Juga diberikannya kesempatan pada orang-orang Eropa yang mau berperang di pihak mereka, kebanyakan pemuda-pemuda yang berasal dari Jerman.

Pemborosan dan pembunuhan manusia yang mengerikan terjadi di sana. Pasukan utara berkembang menjadi lebih dari 1 juta orang, alasan itu yang memperkuat perawanan pihak selatan. Pasukan Konfederasi yang lebih miskin dibandingkan tentara utara dipimpin  oleh jenderal yang mumpuni, Robert E. Lee. Pasukan Konfederasi sejak awal telah menunjukkan kehebatannya. Seperti saat Jenderal Jubal Early bersama kavalerinya yang sampai di ambang pintu Washington. Pasukan Federal kembali kalah di Perang Bull Run dan Chancolville. Salah satu perang yang paling berdarah ialah Pertempuran Gettysburg, perang selama tiga hari itu (1-3 Juli 1863) telah menewaskan sekitar 51.000 jiwa. Baru di saat Lincoln mengangkat Sherman dan Grant sebagai panglima, tibalah kemenangan terhadap selatan yang telah “acak-acakan” dan kehabisan sumber daya. Tanggal 9 April 1865, Lee dan tentaranya menyerah di Gedung Pengadilan Appomattox. Perang yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun itu telah menelan korban jiwa antara 752.000 hingga 851.000 jiwa.

Terlepas penilaian apakah Abraham ‘Abe’ Lincoln bisa dianggap “ekspansionis” karena keputusannya menyerbu kekuatan Konfederasi, perang ini secara signifikan menjadi penanda sejarah terpenting dalam perang melawan perbudakan. Lagipula, untuk menyematkan kesan bahwa ia seorang yang ‘Tiran’, tentu alasan yang perlu dibangun tidaklah cukup. Apalagi, setidaknya, Abraham Lincoln tidak lagi eksis setelah 15 April 1865. Ketika itu ia telah terpilih untuk kedua kalinya sesudah menang Pemilu 1864, saat perang masih berlangsung. Pada malam 14 April 1865 Abe dan isterinya, Mary Todd, pergi ke Ford Theater di Washington untuk menonton pertunjukan. Alfred, ajudannya gak khawatir karena sang presiden hanya dijaga sendiri olehnya. Rekannya yang bernama Ward H. Lamon sedang dalam penugasan ke Virginia. Ia meyakinkan sang ajudan agar tidak khawatir. Abraham Lincoln menikmati pertunjukan dari atas balkon malam itu. “Dooor!”, bunyi tembakan meletus dan melayang ke arah sang presiden dari arah belakang. “Sic semper thyrannis! (Thus always to tyrant!) Aku sudah melakukannya. Selatan sudah membalasnya !”, teriak si penembak.

John Wikes Booth adalah pemain sandiwara yang menembakkan Deringer kaliber 0,44 ke belakang kepala Abe. Sang presiden tewas esok paginya setelah hampir sembilan jam ditangani secara medis. Booth dikenal sebagai simpatisan Konfederasi yang ekstrem. Selain mengincar presiden, ia berencana membunuh para pejabat tinggi lain. Harapannya agar kematian para pemegang tampuk kekuasaan Amerika saat itu akan melumpuhkan pemerintah Union. Hal ini akan membuat peluang bagi pemerintah Konfederasi yang telah menyerah empat hari sebelumnya untuk melanjutkan perang. Kemungkinan bahwa Booth melakukan persekongkolan luas juga dapat terlihat dari kemampuannya menghindari penangkapan hingga 12 hari, sampai akhirnya ia ditembak Sersan Boston Corbett. Ada versi lain yang menyebut bahwa kematian Abraham Lincoln didalangi oleh seorang konglomerat keturunan Yahudi bernama Nathan Rodthschild. Ia pun akhirnya menggunakan tangan Booth sebagai pengeksekusi.

Kisah Lincoln bukan semata “prasasti bersejarah” yang berisi cerita dari masanya dan sekadar untuk dibaca di era sekarang. Tanpa menganggap remeh, gugurnya ratusan ribu jiwa dalam perang saudara itu telah merombak tatanan berpikir lama yang menilai perbudakan adalah sesuatu yang lumrah. Jika saja bisa diistilahkan, ini merupakan “tumbal” yang wajar dibayarkan atas “dosa-dosa” bangsa Barat yang memperluas perbudakan, seturut dengan gencarnya imperialisme-kolonialisme mereka sejak abad ke-15. Tapi sekarang kita tak perlu hanya mengorek-ngorek busuknya ‘koreng’ sejarah Barat yang sudah kesohor. Apalagi Bangsa Indonesia sudah lama merdeka. Kini waktunya kita membuka lebar-lebar “pintu gerbang kemerdekaan” dan memasukinya sebagai rakyat yang merdeka pula ; bukan masih dengan mental terjajah. Kita juga harus belajar bahwa Amerika Serikat yang dikenal sebagai negeri “Kiblat HAM” ternyata perlu melalui perjalanan sejarah “pedih” untuk menerapkannya.

Indonesia sekarang – apalagi mendekati bulan April tahun ini – secara politis juga tengah terpecah oleh “dua magnet agung” penarik perhatian publik. Jika Amerika Serikat sempat terpecah menjadi dua kubu, Indonesia sekarang tengah terancam polarisasi kehidupan berbangsa. Polarisasi yang tercipta karena egoisme dan kemalasan belajar itu turut menciptakan beragam polarisasi lainnya ; bisa disebut “multi polarisasi.” Seperti soal “Nasionalisme” dan “Agamaisme”, yang sebenarnya sudah lama berhasil disintesiskan sehingga bangsa ini memperoleh kedaulatan penuh pasca Konferensi Meja Bundar (1949), sekarang muncul ke permukaan. Tampillah badut-badut “menggemaskan” yang saling bertarung. Di satu sisi ada kelompok yang yakin bahwa negeri ini akan “mulia” jika mengadopsi hukum teks kitab suci, “seperti negara lain”, katanya. Di sisi lawan, berdiri golongan yang (lagi-lagi “katanya”) ingin memajukan negeri ini “sesuai identitasnya” ; bukannya membawa gagasan praktis pembangun peradaban, namun mereka hanya memogramkan “Penghapusan Perda Syariat.”

Saling benci, saling caci, sudah jadi “ornamen wajib” yang secara paralel menghadirkan lebih banyak lagi polarisasi kurang bermutu : “Anti-Poligami vs Pro-Poligami”, “Perlu Mengucap Selamat Hari Raya Agama Lain vs Haram Mengucapkan Selamat Hari Raya Agama Lain”, “Wajib Jilbab vs Tidak Wajib Jilbab”, dll. Permasalahan ini tak mungkin selesai jika hanya mengharapkan solusi dari hal-hal yang “abstrak” dan “terlalu akademis”, seperti yang pernah dalam sebuah essai berjudul “The Beauty and the Beast of Faith” dalam ‘Young Leader Conference Interfaith Summit 2012’. Meski penulisnya cukup baik dalam mengangkat keutamaan humanisme yang meretas masalah agama, ras, serta budaya. Sayang, solusi yang diyakininya dapat mengimplementasikan pluralisme secara edukasi ialah “mengatur kurikulum, Sistem Kredit Semester, dialog lintas iman, dan menempelkan poster untuk menjaga perdamaian di setiap sekolah.”Hal-hal yang disebutkan bukanlah hal baru, apakah negeri kita menerapkan kurikulum yang intoleran ?. Sedangkan jika kita mengandalkan poster, media ini bisa lapuk dimakan usia atau dirobek dengan sengaja.

Abraham Lincoln dapat menjadi sosok nyata yang dapat diteladani dari sikapnya. Presiden AS pertama yang terbunuh itu memiliki pegangan “Say No to ‘Yes Men’”, ia membuktikannya dengan mengisi kabinet semasa perang berlangsung dengan orang-orang yang sebelumnya berada di kelompok kandidat pesaingnya. Ini adalah caranya membangun budaya demokrasi, dengan melakukan debat dan diskusi dengan orang yang mempunyai berbeda ; dengan itu Lincoln meyakini akan menemukan suatu solusi. Sekarang kita banyak menemukan bekas rival politik berlabuh ke pihak lawan sekadar untuk “hidup” : Lincoln justru membenci orang bermental “Yes Men”. Karena ia merasa nyaman dengan aneka konflik dan belajar “mengelola perbedaan.” Ia tidak membenci perbedaan itu, yang harus ia singkirkan adalah ketidakadilan sekitar perbedaan seperti halnya perbudakan. Ia terpaksa berperang agar pihak selatan sadar, hanya keadilan yang bisa membuat identitas-identitas berbeda menjadi rukun. Maka, moderatlah dalam melihat perbedaan apapun itu, termasuk soal pilihan politik. Demokrasi kita mengajarkan untuk kritis, karena kebiasaan selalu mengangguk (Yes Men) merupakan sikap feodalisme !*

*) Tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sepenuhnya. Apabila ada kritik maupun saran, silahkan kirim surat elektronik pada yang bersangkutan di [email protected]

Sumber :

Budiono, Agung, & Saktiana Dwi Hastuti, Assasination, Jakarta : Visimedia, 2012.

Krisnamurti, Affan, Berguru Sukses Menjadi Pemimpin Kharismatis & Fenomenal, Yogyakarta : Araska, 2014.

Pramasto, Arafah, dkk., Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-tema Lainnya, Bandung : Ellunar Publisher, 2018.

Sartika, Youwen, “The Beauty and the Beast of Faith”, dalam https://youwensartika.wordpress.com diakses 14 Januari 2019 pukul 13.04 WIB.

Soeroto, A., Abraham Lincoln Penentang Perbudakan, Jakarta : Penerbit Djambatan, 1986.

Wells, H.G., Short History of The World : Sejarah Dunia Singkat, Terj., Yogyakarta : Penerbit Indoliterasi, 2013.

www.britannica.com diakses 14 Januari 2019 Pukul 13.24 WIB.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *