PendidikanSecond HeadlineSumatera Utara

Mahasiswa USU Riset Arkeologi Pariwisata di Desa Basukum

Sumateranews.co.id, MEDAN- Sekitar 55 orang mahasiswa USU (Universitas Sumatera Utara) dari Fakultas Ilmu Budaya melakukan praktik mata kuliah pariwisata di Desa Basukum Kec. Sibolangit selama tiga hari mulai Jumat (4/1) hingga Minggu (6/1). Tujuannya untuk membentuk kompetensi para mahasiswa guna dapat mengenali potensi wisata di Desa Basukum.

Riset arkeologi pariwisata di Desa Basukum yang dipandu oleh Ketua Program Studi S2 Ilmu Sejarah USU DR. Suprayitno dan Ahli Geologi Senior Sumatera Utara Ir. Jonathan Tarigan.

Praktik lapangan atau dikenal dengan kuliah lapangan ini, diawali dengan pengenalan wilayah desa dan berinteraksi dengan masyarakatnya serta menggali informasi terkait adat budaya, sejarah hingga aktivitas masyarakat melakoni hidupnya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

DR Prayitno menyebutkan Desa Basukum memiliki potensi pariwisata yang mencakup tiga sektor yakni ekowisata, geowisata dan budaya tradisional (culture) yang tengah berlangsung (living culture) maupun warisan (heritage) dari leluhur.

Dalam konteks program studi sejarah pihak kampus melihat budaya yang perlu dikonservasi, dikembangkan, dan dimanfaatkan sebagai daerah pariwisata. Budaya yang berkaitan dengan warisan, berkaitan pula dengan sejarah.

Desa Basukum sebelum ada perang Sungal (1872), daerah ini dikenal dalam konteks birokrasi Kesultanan “Sinuan Gambir” karena tanaman gambir merupakan sebuah tanaman di daerah perbatasan (panas-dingin). Desa Basukum juga merupakan jalur “Perlanja Sira”.

Perlanja Sira merupakan sebutan terhadap mereka orang-orang penggiat ekonomi waktu itu. Dari pegunungan, Perlanja Sira membawa hasil pertanian dan ternak seperti kuda. Sedangkan dari pesisir pantai, mereka akan membawa garam dan candu serta barang-barang berupa mesiu yang dibutuhkan di dataran tinggi.

Dalam konteks ini, daerah dataran rendah hanya sebagai perantara antara pesisir dengan dataran tunggi atau pegunungan. Aksesbilitas dan koneksitas antara hulu dan hilir oleh Perlanja Sira ini dikenal dengan adanya bandar-bandar dan pertumbuken.

Selain dari sisi ekonomi, sisi budaya juga terlihat dalam aktivitas Perlanja Sira dan perpaduan budaya pengunungan dan pesisir. Contohnya rumah-rumah yang ada di Desa Basukum sangat mirip dengan rumah Si Waluh Jabu di dataran tinggi Karo rumah-rumah ini juga masih ada kesamaannya dengan rumah-rumah di pesisir (Hamparan Perak) nuansa Karo masih ada, cuma sudah ada perubahan-perubahan.

Justru itu kata DR. Prayitno, potensi yang ada di Desa Basukum supaya dikelola dan digali oleh para mahasiswa agar dapat dikembangkan dan bermanfaat untuk warga desa katanya.

Perang Sunggal terjadi setelah adanya protes Urung Karo terhadap keserakahan pihak perkebunan yang hanya mendengarkan cakap penguasa pesisir (Kesultanan Deli) tanpa mendengarkan pemilik tanah. Belanda dalam konteks ini, ngikut di belakang penguasa dan Desa Basukum dan Telaga Batu merupakan tempat pertemuan yang rahasia antara Belanda dan Kesultanan Deli.

‘’Dari Hamparan Perak, Timbang Langkat dan Delitua hingga Basukum, pasukan telah disebar untuk mengepung perkebunan (1872),’’ kata Prayitno.

Ir. Jonathan Tarigan menyebutkan paparan material vulkanik Gunung Api Pintau saat meletus dahsyat, menjadikannya sebuah hamparan yang sangat luas hingga membentuk bukit yang cocok dijadikan sebuah pemukiman penduduk. Lambat laun pemukiman ini dijadikan sebuah desa.

Dari beberapa desa yang telah berdiri dan dihuni penduduk mulai dari Pancur Batu hingga ke Bandar Baru, salah satunya adalah Desa Basukum yang kini dikenal sebagai Desa Cinta Rayat Kec. Sibolangit yang terletak di sebelah Timur Gunungapi Pintau.

Kata Jonathan Tarigan Desa Basukum merupakan sebuah desa yang terletak dari tumpuan material vulkanik Pintau. Sebagai bukti material vulkanik Pintau banyak terdapat di halaman rumah penduduk Desa Basukum. Salah satu ciri khas material vulkanik Pintau adalah batu apung yang mudah jenuh dengan air dan sangat mudah membuatnya licin.

Di Desa Basukum, warga memanfaatkan material vulkanik Pintau sebagai pondasi rumah yang berbentuk tegak berdiri. Biasanya, pondasi rumah ini dibentuk sedemikian rupa dengan tinggi sekitar 60 Cm dengan diameter 10 Cm pada bagian ujung dan sekitar 20 Cm bagian pangkal dan di antara  pondasi dan beroti rumah diletakkan ijuk sebagai perantara, agar pondasi dimaksud tidak mudah pecah dan tahan berpuluh tahun, perantara disebut “lanam”.

Di masa kolonial masih berkuasa di Indonesia kata Jonathan Tarigan, ribuan hektar tanaman tembakau tumbuh subur di wilayah Deliserdang. Saat itu, menejemen dan regulasi dikuasai oleh Kesultanan Deli tetapi dikendalikan oleh Belanda. Namun di dalam regulasi produksi perkebunan ini yang dimakmurkan hanya para kolonial saja, sedangkan rakyat Medan terutama orang-orang Karo prmilik tanah tidak didengarkan bahkan berupaya untuk disingkirkan.

Akibat menderitanya warga Karo penghuni Medan dan sekitarnya, muncullah niat para Si’Mbisa Karo (para jawara) untuk mengganggu tatanan perekonomian yang dikendalikan Belanda dengan tujuan, hasil produksi perkebunan tembakau ini dapat dinikmati masyarakat agar bisa membeli kebutuhan hidup.

Maka muncullah sebuah gerakan yang dikendalikan marga Surbakti di sebut “Musuh Berngi”. Belanda menyebutnya ekstrimis, Karo menyebut Si’Mbisa.

Keberhasilan para Si’Mbisa mengobrak-abrik bangsal-bangsal penyimpanan dalam areal perkebunan tembakau, hasilnya dibagikan kepada masyarakat yang lemah. Mereka tidak memilih-milih kepada siapa akan diberikan bantuan hasil rampasan agar bisa hidup normal.

‘’Dalam aksi-aksi Musuh Berngi, beberapa orang di antaranya tertangkap oleh tentara musuh karena dikibusi. Mereka yang tertangkap kata Jonathan Tarigan di siksa dan ditahan di dalam tahanan di Desa Basukum.  Walaupun rumah tahanan ini tidak begitu besar, namun bagi Belanda tempatnya cukup untuk melakukan penyiksaan. Aksi ini juga berkaitan dengan Perang Sunggal hingga Tanduk Benua,’’ tuturnya.

Sampai sekarang, bangunan rumah tahanan ini masih berdiri kokoh. Material kayu yang terbuat dari kayu Meranti ini, bentuknya sederhana, tetapi menyimpan sejuta cerita karena bangunan itu awalnya dimanfaatkan sebagai rumah tahanan dan penyiksaan.

Selain Desa Basukum terletak pada tumpuan material vulkanik gunungapi Pintau dan Desa Basukum memiliki sebuah bangunan rumah tahanan bagi Si’Mbisa Karo dalam gerakan Musuh Berngi, Desa Basukum juga memiliki adat budaya yang diwarisakan (heritage) leluhur dan budaya yang berlangsung (living cultur) dan adapula yang benda pusaka (haritage) yang unik dan menarik.

Di wilayah Desa Basukum terdapat tanaman hutan maupun tanaman kayu berbuah Multi Purpose Tree Species MPTs, namum daya tumbuhnya terbatas karena top soil berlaku bagi tanaman sangat tipis, sehingga tidak semua tumbuhan bisa tumbuh subur di wilayah Desa Basukum. Namun air nira (aren) yang dimasak dijadikan gula merah sangat manis, sebutnya.

Di kawasan sumber air panas belerang Lau Jabi-Jabi Nageri Suah, Ir. Jonathan Tarigan didampingi Ketua Program Studi S2 Ilmu Sejarah USU DR Suprayitno menyampaikan materi kuliah lapangan kepada 55 orang mahasiswa fakultas Ilmu Budaya USU. Jonathan menyebutkan, munculnya mata air di kawasan Desa Negeri, Dusun Negeri Suah, setelah magma yang tidak memiliki energi untuk menembus permukaan bumi atau disebut batu beku yang panas (diorit) tersentuh aliran air yang mengalir dan menyebabkan air tersebut menjadi panas dan berbelerang.

Mata air panas belerang yang mengalirio sungai Lau Jabi ini terletak di antara dua gunung yakni Gunung Takur-Takur dan Gunung Ketarumen. Jarak mata air dari Gunung Takur-Takur sekitar 8 Km dan jarak mata air dari Gunung Ketarumen sekitar 2 Km.

Air panas belerang memiliki manfaat terhadap tubuh manusia antara lain melancarkan peredaran darah dan menyembuhkan penyakit kulit. Uniknya lagi, di lokasi munculnya mata air panas belerang di sebelah Selatan Desa Negeri Suah ini, adapula aliran air dingin yang jatuh pada aliran sungai yang datangnya dari hutan Gunung Ketarumen.

Aliran sungai Lau Jabi-jabi yang bernuansa sejuk dan bersahaja, dapat kita temukan air dua rasa. Satu air dingin yang datangnya dari hutan Gunung Ketarumen dengan rasa tawar, sedangkan air belerang yang muncul dari dalam bumi setelah menyentuh Diorit, rasanya asam sehingga warga Desa Negeri menyebutnya air dua rasa dan air dua rasa bisa dijadikan lokomotif penggerak ekonomi rakyat, jelas Jonathan.

Dari tiga aspek yang menonjol di Desa Basukum, maka Ir. Jonathan Tarigan dan DR Suprayitno menyebutkan aspek geowisata (material vulkanik gunungapi Pintau), aspek sejarah (rumah tahanan semasa penjajahan Belanda) dari mulai perang Sunggal hingga Tanduk Benua (Nabung Surbakti) dan aspek ekowisata (kondisi alam dengan tanaman vegetatif yang berkemampuan terbatas dan topografi alam yang indah, sebut mereka.

Namun Jalan menuju ke lokasi sudah dalam kondisi rusak parah karena tidak ernah dierbaiki selama uluhan tahun sehingga mengurangi niat wisatawan untuk berwisata ke Lau Jabi, padahal Warga Desa dan para ahli berharap agar Lau Jabi dan Desa Basukum bisa dijadikan Desa Wisata karena mempunyai keindahan alam yang luar biasa.

Laporan          : Sofya

Editor/Posting : Imam Ghazali

 

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button